Suatu sore di pojok pasar
Kartasura...
‘Wah… pisangipun sae-sae Mbah…’
kataku sembari berjongkok di depan perempuan sepuh yang berjualan di pinggir
jalan depan pasar.
(Silahkan Pak... Dibeli jualan
Mbahnya)
Sungguh sudah sangat sepuh.
Rautnya penuh kerut. Kulitnya hitam. Kurus badannya. Tapi suaranya cemengkling
riang, giginya terlihat masih utuh.
‘Niki kepok kuning… sae nek
dikolak.
(Ini kepok kuning, enaknya
dibikin kolak)
Niki kepok putih… nek digoreng
langkung manis’
(Ini kepok putih, kalo digoreng
manis)
Lha nek niki gedhang kawista,
kulit tipis…arum manis.
Ning ampun dipundhut sik… soale
dereng mateng…’
(Tapi jangan dibeli dulu soalnya
belum matang)
Aku hanya diam memperhatikan
gerak tangannya yang cekatan tapi telah dredeg dredeg gemetar.
‘Sampun dangu sadeyan, Mbah…?’
(Sudah lama jualan, Mbah)
Dereng…. niki rak nyrempeng pados
rejeki ngge bakdo ?’
(Belum, ini khan sambil nyari
rejeki untuk Lebaran)
‘Putra pinten Mbah?’
‘Kathah , pak… pun sami
glidik/kerja…’
(Banyak pak... Sudah pada kerja)
‘Kok mboten rehat mawon to Mbah…
siam-siam kok sadeyan’
(Kok tidak istirahat saja to
Mbah, puasa2 kok jualan)
‘Lha margi siam niku to pak,
mboten pareng rehat…
Mumpung Gusti Allah paring
sehat…’
(Lha karena puasa itu pak, tidak
boleh istirahat. Mumpung Gusti Allah memberikan kesehatan)
Aku tercenung dengan jawaban
perempuan sepuh itu.
Kulihat tangannya ngelap kening
dan dahinya yang dleweran keringat dengan selendang lusuhnya.
Diantara para penjual ‘liar’
dipinggir jalan depan pasar itu, perempuan sepuh ini satu diantaranya yang
menggelar dagangan tanpa iyup-iyup (tempat berteduh).
Padahal hari ini panas luar
biasa...
----------------------------------------------
‘Nek kundur jam pinten Mbah?’
(Kalo pulang jam berapa Mbah?)
‘Jam tiga pun wangsul pak… lha
enten kewajiban nyiapke wedang kangge lare lare TPA’
(Jam 3 pulang karena ada
kewajiban menyiapkan minuman utk anak-anak TPA)
‘Kok kewajiban, sing wajibaken
sinten Mbah?’
(Kok kewajiban, yang mewajibkan
siapa Mbah)
‘Nggih kula piyambak, pak…’
(Yaa saya sendiri Pak)
‘Ooo… ngaten…. saben dinten,
selama puasa?’
(Ooo begitu, setiap hari, selama
bulan puasa?)
“Inggih… wong naming cah
seketan..’
(Iya... Wong hanya lima puluh-an
anak)
‘Wah panjenengan hebat nggih
Mbah…’
‘Halah mung wedang kalih panganan
cilik-cilikkan..’
(Halah cuma minuman sama makanan
kecil)
‘Sing penting bocah-bocah sregep
ngaji…pun seneng kula.
(Yang penting anak2 rajin mengaji
sudah senang saya)
Ampun bodho kaya Mbahe niki… kula
isane mung Patikah…’
(Jangan bodoh seperti saya ini,
bisanya hanya Patikah --- maksudnya Al-Fatihah)
----------------------------------------------
Aku makin tercekat.
Kumasukkan semua pisang yang
ditawarkan ke dalam tas kresek.
‘Kok kathah sanget pak… badhe
kagem napa?’ tanyanya heran.
(Kok banyak sekali pak, mau untuk
apa?)
Aku hanya tersenyum.
‘Sedaya pinten Mbah?’
(Berapa harganya Mbah?)
Perempuan sepuh itu menyebutkan
nominal yang membuatku tercengang.
‘Kok murah sanget Mbah…’
‘Mboten… pun pas niku, niki rak
mboten pisang kulakan, panen piyambak...’
(Nggak, sudah pas itu. Ini khan
bukan pisang kulakan, tapi hasil panen kebun sendiri)
‘Nggih…matur nuwun…’ kataku
sembari mengulurkan uang..
‘Aduh… mboten enten susukke pak,
dereng kepayon…’
(Aduh tidak ada kembaliannya,
belum ada yang laku dari tadi)
‘Kula lintu-aken rumiyin nggih
Mbah…’
(Saya tukarkan dulu yaa Mbah)
Aku sengaja meninggalkan
perempuan sepuh itu.
Pisang telah kuletakkan di motor.
Mesin motor pun kunyalakan.
Agak menjauh dari perempuan sepuh
itu...
Kumasukkan beberapa lembar uang
lima ribuan yang masih baru, ke dalam amplop,
Cukup dibagi satu satu untuk anak
TPA yang katanya cah seketan (anak lima puluhan jumlahnya) tadi.
Penutup lem ampop kubuka lalu
kurapatkan.
‘Niki mbah, pun kula lintu-aken…
artane pun pas nggih…’
(Ini mbah, sudah saya tukarkan,
uangnya sudah pas yaa)
Perempuan sepuh itu menerima
amplop masih dengan tangan dredeg gemetar.
Tanpa menunggu jawaban, aku
segera pergi.
----------------------------------------------
Besok-besoknya aku mampir lagi…
tapi lapaknya kosong.
Berikutnya aku mampir lagi…
kosong juga.
Penasaran kutanyakan pada Mbak
pedagang sebelahnya.
‘Mbahe mboten sadeyan Mbak?
(Mbahnya tidak jualan, Mbak?)
‘Oh mboten… Mbahe sadean nek
namung panen pisang, pak…?’
(Oh tidak... Mbahnya jualan kalo
sedang panen pisang saja)
‘Sampean tho ingkang maringi
amplop rumiyin…
(Anda tho yang memberikan amplop
kemarin ini...)
Walah Mbahe nangis ngguguk pak…
sujud syukur... jare bejo, angsal-angsale qodaran..’
(Walah Mbahnya nangis terharu
pak... Sujud syukur. Katanya beruntung, mendapatkan berkah qodaran)...
----------------------------------------------
Qodaran barangkali yang
dimaksudkan adalah lailatul qodar.
Malam yang konon lebih baik dari
1.000 bulan.
Allah melapangkan rejeki dan
kemulian bagi siapa saja yang dikehendaki...
Pun mempersempit bagi siapa saja yang
dikehendaki pula.
Lantas siapakah yang
mendapatkannya??
----------------------------------------------
Barangkali perempuan sepuh inilah
yang mendapatkannya.
Bukan karena ia ahli ibadah...
Bukan pula karena i’tikafnya yang
kuat di masjid.
Tapi dialah pelaksana amalan langsung --- meskipun katanya ‘hanya’ bisa Al-Fatihah...
Kesungguhan yang luar biasa.
Bertindak, berlaku dan berpasrah
dalam keriangan rasa.
Kecintaannya yang sederhana
dalam penyiapan wedang dan panganan bagi bocah ngaji selama bulan puasa,
sungguh bukan perkara mudah.
Hanya cinta tuluslah yang bisa.
Cinta tulus kepada Rabb-nya,
sebuah panggilan jiwa naluri seorang hamba pada Sang Pencipta.
Meskipun mungkin
"miskin" keilmuan, namun jiwanya sungguh-sungguh "kaya"...
----------------------------------------------
Aku jadi merenungkan keinginan setiap orang, termasuk diriku sendiri, yang berharap sangat untuk
"mendapatkan" lailatul qodar di tiap Ramadhan !
Maka jatuh malu diriku dalam instropeksi singkat...
Sungguh, malam terbaik dari 1.000 bulan bukanlah sesuatu yang instan.
Tak sekedar bisa diperjuangkan atau dijemput di akhir Ramadhan...
Karena senyatanya semua butuh proses, yang dibangun dengan menapis kebaikan : sebelum, selama dan sesudah Ramadhan.
Itulah sesungguhnya Qodaran…
Bonus tak berbatas untuk hamba-hamba Allah yang senantiasa istiqomah beribadah untuk menggapai ridho-Nya...
Maka jatuh malu diriku dalam instropeksi singkat...
Sungguh, malam terbaik dari 1.000 bulan bukanlah sesuatu yang instan.
Tak sekedar bisa diperjuangkan atau dijemput di akhir Ramadhan...
Karena senyatanya semua butuh proses, yang dibangun dengan menapis kebaikan : sebelum, selama dan sesudah Ramadhan.
Itulah sesungguhnya Qodaran…
Bonus tak berbatas untuk hamba-hamba Allah yang senantiasa istiqomah beribadah untuk menggapai ridho-Nya...
Barakallah...
----------------------------------------------
----------------------------------------------
Taqabalallahu minna wa minkum
#Dituliskan kembali dari sebuah
kisah hikmah